Berfoto bersama Dayak Losarang, Sabtu (30/11) |
Di bawah pohon
mangga, seorang pria tua duduk sendirian menghadap bangunan yang disebut
pendopo. Katam (68), namanya. Ia merupakan salah satu anggota Dayak Losarang. Siang
itu (30/11), semilir angin mengiringi obrolan seputar Dayak Losarang yang
diceritakan olehnya.
Kata “Dayak” memang
sangat identik dengan Kalimantan. Namun, siapa kira jika di Indramayu juga
terdapat perkampungan Dayak, mengingat mayoritas masyarakat
Indramayu adalah suku Jawa. Meski
bernama Dayak, Katam mengatakan jika tidak memiliki keterkaitan hubungan apapun
dengan suku Dayak di Kalimantan.
Bermukim di
Desa Krimun, Kecamatan Losarang,
membuat masyarakat lebih sering menyebut mereka dengan Dayak Losarang. Padahal Suku
Dayak Hindu Budha Bumi Segandhu Indramayu adalah nama asli dari Dayak Losarang.
Nama Suku
Dayak Hindu Budha Bumi Segandhu Indramayu memiliki makna tersendiri pada tiap katanya.
Kata suku berarti kaki, maknanya adalah bahwa setiap manusia
berjalan dan berdiri di atas kaki sendiri untuk mencapai tujuan sesuai dengan anutan kepercayaan dan
keyakinan masing-masing. Kata
dayak berasal dari kata ayak atau ngayak yang
berarti
memilih atau menyaring. Filosofi
dari kata dayak tersebut
adalah menyaring, memilah serta
memilih antara sesuatu yang
benar dan sesuatu
yang salah.
Sementara itu, kata
hindu memiliki arti kandungan atau rahim. Lebih jauhh, memiliki filosofi bahwa
setiap manusia yang dilahirkan ke dunia berasal dari kandungan sang
Ibu (perempuan). Sedangkan kata budha,
berasal dari kata
wuda yang berarti telanjang. Makna filosofinya sendiri adalah setiap manusia
dilahirkan ke dunia
dalam keadaan telanjang.
Terakhir Bumi Segandhu Indramayu, masing-masing maknanya yaitu, Bumi
mengandung makna sebagai wujud,
sedangkan Segandhu bermakna sekujur
tubuh. Gabungan dari kedua
kata tersebut,
yakni Bumi
Segandhu memiliki
makna
filosofi sebagai kekuatan hidup. Adapun Indramayu,
suku kata
in
berarti
inti, suku kata darma
memiliki makna sebagai
orang tua, dan suku kata
ayu
maknanya adalah
perempuan. Filosofinya adalah kita sebagai manusia dikeluarkan dari rahim
seorang ibu. Maka sudah sepatutnya apabila seorang ibu itu harus dihormati.
Jadi penyebutan kata suku dan dayak pada Dayak Losarang adalah sebatas
penyebutan istilah yang berasal dari makna kata-kata dalam bahasa Jawa dan
jelas bukan terminologi suku bangsa etnik dalam antropologi.
Dayak Losarang
merupakan sebuah kelompok masyarakat dan bukan fenomena yang baru muncul
belakangan ini, melainkan telah ada sejak tahun 1970, didirikan oleh seorang
pria bernama Takmad Diningrat. Meski terkesan sebagai kelompok yang eksklusif
karena tinggal di sebuah kompeks yang terdiri atas pendopo,
pesarean, dan pesanggrahan,
serta rumah pemimpin suku, Dayak Losarang tidak menutup diri dari masyarakat sekitar.
Mereka berbaur
dengan masayarakat sekitar. Membeli kebutuhan hidup di warung yang sama. Hanya
penampilan yang membedakan mereka dengan masyarakat sekitar. Penampilan khas
Dayak Losarang adalah bertelanjang dada, mengenakan celana
berwarna
hitam dan putih, sera
beberapa askesoris seperti gelang dan kalung dari bambu. Adapun
untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebagian besar bermata pencaharian sebagai seorang petani.
Katam mengatakan
bahwa sangat banyak makna filosofi dalam Dayak Losarang, di antaranya adalah
inti ajaran yang mereka percayai, yaitu Sejarah Alam Ngaji Rasa. Sejarah
memiliki arti perjalanan
hidup yang didasarkan
atas ucapan
dan kenyataan serta Alam
berarti sebagai
ruang lingkup kehidupan
atau tempat hidup. Sementara itu, Ngaji Rasa diartiikan sebagai suatu pola hidup manusia. Pola hidup
yang dimaksud yaitu berdasarkkan rasa yang semaksimal mungkin harus selalu
dikaji melalui kajian antara hal
yang benar dan salah.
Sejarah Alam Ngaji Rasa pada dasarnya merupakan ajaran tentang
kebajikan dan kebijakan dalam menyikapi hidup. Ajaran ini berprinsip bahwa
manusia harus menyatu dengan alam, karena alam adalah asal dan sumber
kehidupan. Ajaran tersebut pun
memberikan pemahaman
untuk saling mengasihi antarsesama
manusia, memberikan kebebasan untuk menjalankan hidup secara sederhana, serta
menghargai alam dan lingkungan. Kepercayaan tersebut membuat mereka terbebas dan tidak mengikatkan diri
pada apapun, serta
tidak memaksakan kehendak manusia harus seperti ini atau itu, tetapi
berkeyakinan bahwa manusia berhak atas kehendaknya sendiri.
Berdasar pada
ajaran Ngaji Rasa, Dayak Losarang
mengamalkan nilai-nilai tersebut. Menurut Katam menjadi Dayak Losarang adalah
pilihan hidupnya, ia tidak memaksakan hal tersebut kepada anak-anaknya, “mereka
berhak menentukan jalan sendiri, sesuai dengan ngaji rasa saja,” imbuhnya.
Hal lain dari
implementasi Ngaji Rasa adalah
terkait makanan. Dalam kesehariannya, mereka hanya memakan makanan dari bahan
dasar tumbuhan, sebab bagi mereka hewan merupakan anugerah dari alam yang
memiliki hak untuk menjalani kehidupan dan harus dijaga. Ketika mereka jatuh
sakit pun, tidak seperti masyarakat yang lain yang berobat, mereka hanya
merenungi diri karena beranggapan bahwa mereka masih salah dalam menjalani
hidup.
Bagi Dayak
Losarang,
perempuan adalah segalanya.
Memuliakan perempuan dan anak-anak menjadi bagian penting dalam keyakinan
mereka. Perempuan
dianggap memiliki martabat tinggi karena dapat melahirkan. Oleh karena itu,
pria dewasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperi memasak, mencuci, merapihkan
rumah, dan sebagainya.
“Tidak ada yang bekerja di luar negeri (TKI), perempuan sangat dihormati di
sini,” kata Katam.
Sambil berjalan
ke luar kompleks, Katam menunjuk sebuah sungai yang dipakai untuk kungkum (berendam), salah satu ritual
yang dilakukan untuk semakin memperdalam Ngaji
Rasa. Kungkum merupakan ritual yang dilakukan selama empat bulan setiap
tahunnya dengan cara berendam pada malam hingga pagi hari. Hal tersebut
bertujuan untuk melatih kesabaran. Usai berendam, mereka melakukan ritual
lainnya, yaitu pepe. Pepe adalah
ritual yang menjemur diri di bawah terik sinar matahari dengan maksud
mendekatkan diri dengan alam.
Dari menjaga
harmoni dengan alam hingga memuliakan perempuan, Dayak Losarang mengajarkan
untuk menjalankan dan memaknai hidup dengan baik. Setiap manusia berhak memilih
jalan dan cara hidupnya masing-masing. Menjelang sore, Katam mengajak saya untuk
bertemu dengan Takmad Diningrat, pendiri Dayak Losarang. Tak berbeda dengan
Katam, Takmad menyambut dengan ramah. Foto bersama menyudahi obrolan sekaligus
kunjungan yang penuh makna hidup di Dayak Losarang. (Rohaeni)
|
Komentar
Posting Komentar